Total Tayangan Halaman

Kamis, 24 Maret 2011

Teladan Tukang Parkir Untuk Anggota DPR

Ibukota Jakarta kini semakin cantik seiring dengan bertambahnya pohon beton yang menjulang tinggi di kawasan parlemen Senayan. Gedung seharga 1.6 Triliun ini rencana mulai dibangun pada bulan oktober 2010 nanti yang khusus digunakan untuk para “pelayan rakyat” beserta sekretarisnya. Gedung yang sudah digadang-gadang pembangunannya beberapa tahun lalu dan baru disepakati pada tahun ini. Gedung yang memiliki beberapa fasilitas lengkap dengan ukuran 120 m2 untuk masing-masing anggota atau sama dengan rumah tipe 45 bahkan sempat diisukan akan dibangun kolam renang namun dengan cepat dibantah. Banyak pihak yang menentang pembangunan gedung baru DPR ini, namun kembali lagi kita harus menelan pil pahit setelah statement yang dikeluarkan oleh Ketua DPR Marzuki Alie yang berkata “Kami tetap melanjutkan pembangunan gedung ini, silahkan kritik kami terima saja”. Statement yang tidak memperhatikan hati rakyat dan boleh saya mengatakan tidak berperikerakyatan. Banyak yang menerima namun banyak pula anggota DPR yang menolak pembangunan gedung ini, namun semuanya dikembalikan lagi suara terbanyak yang mengalahkan suara minoritas walaupun mengarah pada kepentingan rakyat. Saya teringat ketika berkunjung ke Monas pada 2009 silam. Di puncak Monas gedung-gedung semua tampak kecil mulai dari Masjid Istiqlal, Gedung Kementerian, dan Kantor lainnya terlebih orang yang ada dibawahnya, terlihat sangat kecil. Begitu pula dengan gedung DPR ini, legislator semakin melihat rakyatnya kecil, semakin jauh dan tidak mendengar jeritan mereka.
Belum berselang lama dengan polemik pembangunan Gedung DPR ini, kembali lagi rakyat hanya melihat bagaimana sikap legislator yang tidak memperhatikan mereka. Komisi X rencana akan melakukan studi banding ke beberapa negara hanya untuk belajar PRAMUKA. Beberapa negara tujuan telah diajukan seperti Kanada dan Afrika Selatan, namun Kanada tampaknya mengerti sikap legislator Indonesia sehingga menolak kunjungan mereka. Sungguh sangat berbeda sekali dengan legislator di Amerika yang sangat jarang melakukan studi banding, kalaupun dilaksanakan hanya sekretaris mereka yang diutus. Marzuki Alie pun berkata “DPR jangan selalu dianggap negatif, kami hanya menjalankan amanat Undang-Undang”. Namun hal tersebut ditentang oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi  (MK) Jimmly Asshidiqie yang berkata “ you nggak perlu ke luar negeri, cukup cari informasi di internet saja..” ujarnya. Kinerja DPR yang belum dapat dikatakan berhasil masih mempunyai “utang” untuk mengesahkan sebanyak 70 RUU untuk tahun 2010 ini. Sedangkan yang baru akan diagendakan sebanayk 13 RUU. Belum lagi pada periode ini sebagian besar penghuni Senayan dihuni oleh wajah baru dan artis yang memang belum paham betul tugas mereka. Fasilitas sudah lengkap, kinerja pun masih belum mantap.
15 September 2010 lalu saya kembali ke Bandung setelah libur Lebaran di kampung halaman. Dengan menggunakan travel agent yang cukup terkenal di Kota Kembang ini, mengantarkan kami para penumpang ke tempat tujuan masing-masing. Kendaraan pun bergerak menuju sebuah kawasan wisata religi yang cukup terkenal di kota ini yaitu Da’arut Tauhid. Setelah menurunkan penumpang, supir hendak memutar kendaraannya yang kemudian di atur oleh seorang tukang parkir. Ketika supir ingin memberikan “recehan” sebagai tanda terima kasih ke tukang parkir tersebut, dengan raut muka senyum ia mengangkat tangannya menandakan ia menolaknya. Supir itu berujar  “nuhun ya (terima kasih)” sembari nyeletuk “memang anak buah Aa’ Gym”. Saya pun berpikir, bisakah legislator meniru teladan tukang parkir tersebut? Mengangkat tangan dan berkata menolak “Hotel Bintang Lima” bernilai 1.6 Triliun. Bisakah mereka peka terhadap rakyat yang semakin sulit dan melayani masyarakat tanpa mengharap imbalan, bahkan disodorkan pun ia menolak. Atau apakah perlu para legislator (mohon maaf) yang muslim “studi banding” ke tempat tersebut sekedar wisata religi daripada wisata ke luar negeri yang belum tentu bermanfaat bagi rakyat. Saya rasa perlu, karena yang bergeser selama ini adalah moral mereka sehingga mereka lebih banyak melihat ke bawah, ikhlas dan menolak segala bentuk hal-hal yang mementingkan pribadi, kelompok maupun partai mereka. Realita di atas merupakan contoh kecil dari kehidupan kita yang senantiasa masih diberi kesempatan untuk berubah sehingga ada karena manusia kembali menjadi manusia (Teori Rehumanisme). Sehingga rakyatlah yang seharusnya sejahtera karena sudah dibentengi oleh tiga lapis pelayan mereka mulai dari legislator Kabupaten/ Kota, Provinsi hingga Pusat yang mereka pilih pada pemilu lima tahun sekali. Semoga anggota DPR yang terhormat membaca artikel ini sehingga hati mereka “tergelitik” untuk meneladani tukang parkir tersebut. Amin.

STRATEGI DAN TAKTIK DALAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY / TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

ditulis pada tanggal 30 Oktober 2010

Abstrak
Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggungjawab Sosial Perusahaan (TSP) merupakan bentuk nyata dari pengabdian kepada masyarakat sebuah perusahaan terhadap pemerintah pada umumnya dan masyarakat sekitar perusahaan khususnya. Tanggung Jawab ini merangkul pemangku kepentingan (stakeholder) yang ada di dalam masyarakat. Ketika sebuah perusahaan telah menancapkan fondasi di suatu wilayah, maka seketika pula melekat tanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya. Pemerintah kita mulai melegitimasikan pelaksanaan CSR/Tanggungjawab Sosial Perusahaan dengan menerbitkan UU No. 40 Tahun 2007 yang ditegaskan disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).
Namun, UU PT tidak menyebutkan secara terperinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3, dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR “dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran.” PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur oleh peraturan pemerintah yang hingga kini belum dikeluarkan. Akibatnya, standar operasional mengenai bagaimana menjalankan dan mengevaluasi kegiatan CSR masih diselimuti kabut misteri. Selain sulit diaudit, CSR juga menjadi program sosial yang “berwayuh” wajah dan mengandung banyak bias. Banyak perusahaan yang hanya membagikan sembako atau melakukan sunatan massal setahun sekali telah merasa melakukan CSR. Tidak sedikit perusahaan yang menjalankan CSR berdasarkan copy-paste design atau sekadar “menghabiskan” anggaran. Karena aspirasi dan kebutuhan masyarakat kurang diperhatikan, beberapa program CSR di satu wilayah menjadi seragam dan seringkali tumpang tindih. Walhasil, alih-alih memberdayakan masyarakat, CSR malah berubah menjadi Candu (menimbulkan kebergantungan pada masyarakat), Sandera (menjadi alat masyarakat memeras perusahaan), dan Racun (merusak perusahaan dan masyarakat). (Edi Suharto : Pikiran Rakyat 22 April 2008).
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington. Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity, yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P, singkatan dari profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi sosial perusahaan “seat belt”, sejak tahun 2003 Kementerian Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasanya kegiatan perusahaan membawa dampak – for better or worse, bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi. Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham. Melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan.
Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004). Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya. Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.
Sejarah CSR
Dilihat dari asal katanya, CSR berasal dari literatur etika bisnis di Amerika Serikat dikenal dengan nama Corporate Social Responsibility atau Social Responsibility Of Corporations. Kata corporation atau perusahaan dalam bahasa Indonesia yang diartikan sebagai perusahaan, khususnya perusahaan besar. Dilihat dari asal katanya “perusahaan” berasal dari bahasa latin “corpus/corpora” yang berarti badan. Dalam sejarah perusahaan dijelaskan bahwa hokum yang didirikan dalam perkembangannya justru menumpuk keuntungan (for profit). Sehingga tidak salah bila John  Elkington’s menegaskan bahwa pada prinsipnya CSR ini merujuk pada 3 aspek yang biasa disebut “Triple Bottom Line” harus dijadikan sebagai acuan dalam aktivitas dalam suatu perusahaan.
Triple Bottom Line yaitu Planet, People, dan Profit.
Svhemerchon (1993) memberikan definisi CSR/TSP sebagai suatu kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka sendiri dalam melayani kepentingan organisasi  dan kepentingan publik eksternal. Secara konseptual TSP adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip sukarela dan kemitraan (Nuryana 2005).
Hasil penelitian empiris membuktikan bahwa urgensi CSR yang meliputi 3 aspek, telah mendorong untuk melakukan pengakuan (recognized) dan pengungkapan (disclosure) sebagai bentuk pertanggung jawaban publik (public accountability). Dalam gagasan Triple Bottom Line yaitu nilai perusahaan (Corporate Value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya saja. Sedangkan bottom line lainnya, selain finansial adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai suatu perusahaan akan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan  suatu perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi soaial dan lingkungannya.  Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek lingkungannya. Misalnya kasus penyerbuan terhadap bus pengangkut makananan untuk para pekerja PT. Freeport Indonesia yang merupakan bukti tidak puasnya masyarakat terhadap perusahaan.
Opini
CSR menurut saya adalah sebuah zakat yang harus dikeluarkan oleh sebuah perusahaan baik kepada karyawannya maupun masyarakat sekitar dalam hal ini lingkungan sosialnya. Di barat CEO perusahaan ternama mulai menampakkan perilaku yang ;penuh nilai dan juga perilaku yang sarat spiritual. Apa artinya? Orang mulai mengapresiasi akhlak mulia dan menemukan makna kehidupan berlandaskan agama. Lau, ternyata orang-orang yang mengapresiasi dan mempraktikkan hal ini juga bukanlah mereka yang fakir serta lemah akal, melainkan orang-orang kaya dan orang-orang yang cerdas. Karena itu jangan heran jika kita kini menjumpai  seorang CEO perusahaan yang kaya raya dan sedemikian terhormat terlihat begitu rendah hati, shalat pada awal waktu serta menegakkan tahajjud setiap malam.
Seorang Bill Gates yang begitu kaya raya dan termasuk manusia terkaya sejagat ini akhirnya dalam usia yang masih muda memutuskan pension dari Microsoft, perusahaan IT terbesar yang dirintisnya. Apa yang dilakukan Bill Gates?? Ia akan menyibukkan diri dalam yayasan miliknya yang bergerak dibidang sosial kemasyarakatan. Wonderbar!!!!!!!!!!
Saya setuju dengan statement Bapak edis Suharto yang mana CSR jika disalahgunakan dapat berakibat sebagai candu, sandera dan racun. Saya menganalogikan seperti ini, ketika sebuah perusahaan telah berdiri maka sebuah harapan besar dari masyarakat sekitarnya akan kesejahteraan bagi mereka dan memperoleh kehidupan yang lebih layak, namun pelaksanaan CSR yang masih dipahami secara parsial oleh sejumlah perusahaan akhirnya bias dan berubah menjadi pemberian bantuan / stimulan yang akan memberikan “Candu” bagi masyarakat. Sehingga ketika stimulan tersebut berubah wujud dalam bentuk yang lain bahkan hilang, maka masyarakat akan mempertanyakan hal tersebut. Hal yang mungkin terjadi adalah seperti kasus penyerangan mobil pengangkut pekerja PT. Freeport Indonesia. Mereka bahkan “Menyandera” perusahaan dengan berbagai macam teror. Pihak PT. Freeport bukan berarti tidak menerima pekerja yang ada dilingkungan sekitar, namun bagaimana mau dipekerjakan jika membaca saa sulit dan pendidikan yang dibawah rata-rata?Bukankah ini bentuk salah satu dampak pemahaman secara parsial? Jika PT. Freeport jeli melihat hal tersebut di atas, bentuk CSR yang paling ampuh adalah dibidang pendidikan utamanya yang bergerak di sektor industri. Namun hal tersebut sudah dipikirkan jauh sebelumnya PT. Freeport terkesan menghindari hal tersebut, jika masyarakat sekitar sudah mempunyai “pendidikan” yang mumpuni tak ayal lagi sedikit demi sedikit merekalah yang mengambil alih “tihtah” mereka. Inilah “Racun” bagi perusahaan yang diakibatkan jika memersepsikan CSR secara parsial dibarengi lagi belum terbitnya sanksi dalam penerapan CSR tersebut dan “Racun” bagi masyarakat yang seakan dikebiri oleh perusahaan.

Selain itu penerbitan regulasi untuk CSR memiliki potensi yang cukup kuat menyerahkan “tihtah” pemerintah ke swasta. Dapat dilihat contoh nyata bahwa, pemerintah meminta kepada perusahaan untuk menyisihkan dana untuk pendidikan sedangkan pemerintah sendiri belum melaksanakan amanat undang-undang yang menyisihkan 20% dari APBN untuk pendidikan. Bukankah ini sebuah ironi  pemerintah menginstruksikan penyelenggaraan pendidikan sedangkan ada kewajiban yang sama belum dijalankan. Hal ini kemudian berdampak juga di daerah tempat dimana perusahaan melakukan aktivitasnya. Dengan kewajiban menjalankan CSR, perusahaan tersebut membangun infrastruktur di daerah tersebut. Pemerintah Daerah kemudian mengklaim pembangunan infrastruktur telah dilakukan, padahal “pos” dalam APBD. Bisa ditebak, APBD kemudian disalahgunakan. Inilah dampak dekadensi moral oleh pemerintah daerah.
Pasal 33 ayat (1,2 dan 3) berbunyi : “Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan rakyat”. Namun sudah menjadi hal yang wajar di Indonesia, dimana semuanya dikuasai oleh swasta dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan perusahaan sendiri. Jangankan memberikan kemaslahatan bagi rakyat, jika yang terjadi seperti di Sidoarjo bukan kemaslahatan lagi yang diberikan tetapi kemelaratan. Padahal awal keluarnya lumpur panas yang masih “setia” sampai saat ini menyembur,  si empunya masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, ironi kan? Yaiyalah, bukan Indonesia namanya kalau tidak ada yang ironi seperti Reality Show di TV swasta “Hanya ada di Indonesia”.
Peran Perusahaan dalam Bencana
Satu dekade ini, negara kita masih saja dirudung masalah bencana. Walaupun tidak bisa dihindari dan diketahui secara pasti kapan datangnya, namun setidaknya dapat diminimalisir korban yang berjatuhan. Mulai dari Tsunami di penghujung tahun 2006 di Aceh, Gempa di Jogjakarta, Gempa di Nias, Sumbar, Bengkulu hingga tahun 2010 ini dalam rentang waktu kurang dari satu bulan, tiga bencana besar terjadi.  Air Bah di Wasior Papua, Tsunami di Kepulauan Mentawai dan Meletusnya Gunung Merapi yang mengkibakan hujan debu dan awan panas. Serentetan bencana yang terjadi bukan karena bangsa ini dilaknat oleh Tuhan tapi sungguh kita masih disayang oleh Allah SWT yang diingatkan dengan “centilan-centilan” agar kita terbangun dari dunia yang selama ini kita agungkan. Kita lupa berterima kasih dengan Alam yang memberikan secara Cuma-Cuma, namun bukan manusia namanya jika cepat puas. Pohon yang ditebang berjuta-juta tiap harinya hanya untuk memenuhi kebutuhan tempat duduk manusia, meja bahkan tempat penyimpanan pakaian mereka. Pemerintah pun mencanangkan penananan satu miliar pohon tiap tahun, bagaimana mau mengimbangi satu miliar dalam setahun dibandingkan ratusan juta tiap hari. Ironi bukan? Ya! Indonesia again.
Melihat berbagai bencana yang terjadi di Indonesia, perusahaan harus jeli melihat hal tersebut jika ingin menjadi perusahaan bukan saja melaksanakan tanggung jawabnya tetapi aware terhadap fenomena yang terjadi. Misalnya, dalam penanganan pasca bencana dengan pemberian bantuan seperti beras, minyak goreng, gula dsb akan memperlambat pelayanan kepada korban. Dengan dampak psikologis yang mereka derita, tidak mungkin mereka memasak alih-alih memasak alat untuk memasak tidak punya. Namun sukarelawan atau oknum aparat yang disulap menjadi “tukang masak”. Pada pasca bencana penanganan harus bersifat instan, nah perusahaan makanan bonafit  cepat saji harusnya yang bertindak disini, inikan bentuk tanggung jawab mereka juga. Namun bukan berarti mengabaikan bantuan dari masyarakat lainnya atau dari pemerintah. Saya pernah membaca artikel tentang bagaimana negara Jepang meminimalisir korban Gempa dan Tsunami, pada provinsi yang dianggap rawan bencana menggunakan sistem “Sister City” atau kota kembar. Dimana ada kesepakatan antara dua kota atau lebih yang saling berdekatan, jika terjadi bencana maka daerah terdekatlah yang paling pertama menyalurkan bantuan. Inilah yang perlu dicontoh oleh negara kita, namun saya sedikit memodifikasinya yaitu jika terjadi bencana bukan hanya paling dekat saja yang paling pertama menyalurkan bantuan tetapi perusahaan yang terdekat dari daerah bencana tersebutlah yang turut andil. Sehingga bukan polisi saja sebagai mitra masyarakat, tetapi perusahaan juga mitra masyarakat bahkan pengayom di bidang kesejahteraan sosial.
Saya teringat tentang kisah Alfred Nobel, nama yang diabadikan untuk pemberian penghargaan terhadap sosok yang mempunyai peranan penting dalam memperjuangkan sesuatu atau bidang ilmu yang bermanfaat bagi umat manusia. Alfred Nobel adalah sosok yang cerdas dan memiliki kekayaan yang mumpuni. Namun suatu ketika, dalam Headline sebuah surat kabar memberitakan bahwa ia telah meninggal dan tidak meninggalkan sepeser pun kekayaannya bagi masyarakat. Membaca surat kabar tersbut, ia pun kaget bukan kepalang. Usut punya usut ternyata pemeberitaan tentang kematiannya salah cetak, Alfred Nobel yang dimaksud adalah orang lain bukan dirinya! Dia pun mulai berpikir, jika suatu saat dirinya meninggal dan tidak mendedikasikan apa yang diperolehnya selama ini kepada masyarakat maka hal serupa akan dia dapatkan. Pemberitaan miring tentangnya, ia pun memberikan kekayaannya kepada masyarakat hingga namanya dikenang sampai sekarang dan diabadikan sebagai Pemberian Penghargaan bagi seorang yang mendedikasikan ilmu maupun mengabdi kepada kemaslahatan umat.
Sampai disitu? Tidak! Zaman Nabi CSR sudah ada kawan! Pada masa kepemimpinan sahabat Rasul mendedikasikan seluruh kekayaan yang diperoleh oleh kerajaannya. Saking sejahteranya rakyat yang dipimping, ia menyuruh seorang untuk mencari fakir miskin untuk diberikan bantuan. Bagaimana dengan negara kita? Saya mengetahui jika belum semua anak bangsa ini dapat mengolah sumber alam, namun bukan berarti kita dikebiri oleh pihak swasata bin asing untuk mengelola tanah milik leluhur kita. Pemerintah tidak boleh tunduk, justru perusahaanlah yang harusnya tunduk ke pemerintah. Jika ada yang membangkang, hentikan aktivitas mereka. Namun bukan Indonesia namanya jika berani melakukan hal tersebut, darah korupsi kolusi dan nepotisme sudah mendarah daging kawan.
Dibawah ini ada beberapa strategi dan taktik yang saya peroleh di bangku kuliah kemudian saya padu padankan dengan CSR. Mohon maaf jika analisis saya salah dan mudah-mudahan benar salahnya.




No
Relasi dari Sistem Kegiatan dan Sistem Sasaran

Taktik-taktik

1
Collabaration
Sistem sasaran setuju (atau diyakinkan untuk setuju) dengan system kegiatan, bahwa perubahan dibutuhkan dan di dukung pengalokasian sumber

1.    Implementasi
2.    Capacity building
a.    Partisipasi
b.    empowerment

2
Campaign
Sistem sasaran mau berkomunikasi dengan sistem kegiatan, tetapi hanya sedikit kesepakatan akan perlunya perubahan, atau sistem sasaran mendukung perubahan, tetapi tidak mengalokasikan sumber
3.    Education/ pendidikan
4.    Persuasi
a.    Cooptation/ bergabung
b.    Lobbying/ melobi
5.    Meminta bantuan mass media ( mass media appeal )

3
Contest
Sistem sasaran menentang perubahan dan atau menentang pengalokasian sumber dan tidak membuka komunikasi, mengapa mereka menentang

6.    Bargaining dan negotiation (tawar-menawar dan perundingan)
7.    Large-group atau aksi komunitas
a.    Legal (seperti demonstrasi)
b.    Ilegal (seperti kegiatan yang melawan aturan resmi)
8.    Aksi penuntutan perkara (class action aktin lawsuit)



MAKASSAR ANTARA KOTA METROPOLITAN DAN METROPOLUTAN

Perkembangan kota Makassar selama satu dasawarsa ini sangat pesat. Mulai dari sarana dan prasarana serta pelayanan kepada masyarakat yang serba cepat dimana perkembangan ini diharapkan menjadi Kota Metropolitan. Pusat perbelanjaan hampir tersebar di semua tempat semakin meyakinkan kota yang dijuluki “Kota Daeng” , “Kota Seribu Warkop” atau “Kota Seribu Ruko” serta pelbagai julukan lainnya tergantung dari mana orang-orang memandangnya. Makassar sebagai kota Metropolitan dan Gerbang Kawasan Timur Indonesia sehingga dinilai menjanjikan lapangan pekerjaan oleh beberapa warganya maupun daerah sekitarnya. Seiring dengan perkembangan tersebut, masyarakat pun “terpaksa” mau tidak mau mengikuti arus tersebut sehingga mereka mempunyai daya beli terhadap barang dan jasa semakin tinggi. Dan akhirnya, perkembangan tersebut bukan hanya menarik perhatian para pencari nafkah, tetapi terfokus kepada investor asing. Banyak kawasan yang sudah di garap dengan jargon, “.... yang pertama di dunia dan satu-satunya..” atau “..langsung di datangkan dari Amerika, kedua setelah Ibukota Jakarta...” serta pelbagai jargon menarik lainnya. Sungguh Makassarku, Makassarta’ sudah disulap menjadi Kota Dunia.
Kini Makassar tidak dapat lagi kita lihat seperti sepuluh tahun yang lalu, sepeda berjalan dengan langgengnya di jalan raya, tidak ada kemacetan dan polusi dari kendaraan bermotor. Kini kendaraan roda dua, empat serta alat transportasi lainnya semakin menghiasi kota ini. Mudahnya masyarakat mendapatkan kendaraan bermotor dengan uang muka lima ratus ribu semakin menambah “Pekerjaan Rumah” bagi Pemerintah Kota mengatasi permasalahan kemacetan. Sederet kendaraan seperti roda dua, empat, bus, becak, taksi, pete-pete (angkot), dan bentor yang belum jelas legalitasnya sampai sekarang hingga yang terakhir adalah busway yang digadang-gadang pada tahun 2012 dan akan diuji coba tahun 2011 mendatang. Jika dikalkulasikan ada delapan jenis kendaraan yang lalu lalang di kota Daeng ini. Saya masih kurang sepakat dengan kebijakan Pemerintah Kota Makassar yang ingin menggunakan alat transportasi massal busway dan boleh saya katakan belum siap. Walaupun pembangunan “fly over” telah selesai namun bukannya memberikan jalan pintas menuju ke suatu tempat melainkan bertemu lagi di pangkal jalan. Sungguh ironis, jalan seharga miliaran rupiah yang pembangunnya saja memacetkan pengguna jalan sekitarnya ketika sudah selesai masih belum optimal pemanfaatannya. Salah siapakah? Dan siapa pihak yang bertanggung jawab terhadap seringnya kendaraan berjalan “kura-kura” pengguna jalan? Jumlah Kendaraan ? Demonstrasi mahasiswa? Atau seringnya pengalihan jalan?
Selain perbandingan ruas jalan dengan jumlah kendaraan yang tidak sebanding, belum adanya sikap yang tegas terhadap legalitas kendaraan baru seperti bentor dan kebijakan penggunaan alat transportasi lambat melintas di ruas jalan transportasi cepat. Saya teringat perkataan mantan Wapres Jusuf Kalla beberapa tahun lalu dengan nada menyindir “..Negara kita sebenarnya kaya, liat saja Jakarta sangat macet. Macet diakibatkan selain belum seimbangnya kendaraan dengan ruas jalan juga banyaknya kendaraan. Itu berarti masyarakat kita mampu membeli kendaraan, walaupun kredit”. Pernyataan tersebut berimplikasi bahwa kemacetan bukan lagi karena ruas jalan yang sempit ataupun sedikit tetapi memang jumlah kendaraan bermotor sangat banyak. Saat ini di Makassar tidak dapat kita temukan jalan alternatif jika terjadi kemacetan atau pengalihan jalan seperti yang terdapat di Jogja, ada jalan alternatif walaupun hanya untuk kendaraan sepeda. Inilah salah satu bentuk perhatian pemerintah setempat terhadap pengguna sepeda, bisa dibayangkan jika sepeda juga masuk ke jalan raya jika terjadi kemacetan malah memperparah. Jumlah penduduk Kota Makassar tahun 2010 berjumlah 1.339.374 jiwa atau 16.7% total penduduk Sulawesi Selatan yang mencapai sekitar 8.032.551 jiwa dengan luas wilayah 175.77 km2. Kepadatan penduduk masih terus bertambah seiring dengan derasnya arus urbanisasi. Pembangunan jalan yang dilakukan bukan berarti mengurangi kemacetan (BKM, 20 September 2010).
Volume kendaraan yang cukup tinggi serta penggunaan BBM yang kurang ramah lingkungan (bertimbal) mengakibatkan juga tingginya polutan dari mesin kendaraan yang sudah tidak laik jalan sehingga sistem pembakaran kendaraan tersebut tidak sempurna maka hasil pembakarannya pun tidak sempurna. Untuk mencegah polutan yang bisa masuk ke dalam tubuh manusia, pemerintah tidak hanya melaksanakan penanaman pohon di pinggir jalan tetapi juga perlu digalakkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30% untuk setiap wilayah perkotaan misalnya daerah sekitar Universitas Hasanuddin serta tindakan tegas bagi para pengembang maupun pihak yang membangun dengan menebang pohon sekitar. Pembangunan fisik dan perkembangan gaya hidup merupakan karakteristik dari kota Metropolitan namun bukan berarti mengabaikan dampak negatif yang diakibatkannya sehingga tidak menjadi kota Metropolutan. Saat ini Kota Makassar mempunyai luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 10 persen mengungguli tiga kota besar lainnya Medan 8 persen Bandung 9 persen, dan Ibukota Jakarta 9.6 persen hal di atas menunjukkan minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota-kota besar apalagi jika dibandingkan dengan ketentuan yang digariskan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang mengarahkan agar setiap kota mempunyai total RTH minimal seluas 30 persen dari luas wilayah kotanya (Republika, 6 Oktober 2010). Hal ini pula sudah tertuang dalam Millenium Development Goal’s (MDGs) yang dicanangkan  pada tahun 1990 dalam jangka waktu 15 tahun kedepan.
Segenap gerakan maupun program yang dicanangkan seperti program milik Gubernur Sulawesi Selatan “SulSel Go Green” dan milik Walikota Makassar “Makassar Green and Clean”. Semua program tersebut sangat baik bagi perkembangan sebuah kota metropolitan namun harus juga disisipkan peraturan daerah (Perda) yang memuat sanksi bagi penebang pohon di kota atau perusahaan yang tidak memberikan sedikit ruang terbuka hijau (RTH) di lingkungannya. Kita bisa mengambil contoh kota yang mengembangkan infrastruktur hijau seperti Curitiba (Brazil), Hammarby Sjostad (Swedia), dan Singapura yang mengembangkan infrastruktur hijau yang mencakup penataan kawasan pemukiman, bangunan gedung, pengelolaan air limbah, pengelolaan air minum dan pengendalian pencemaran udara. (Republika, 6 Oktober 2010). Sehingga Hari Habitat Dunia yang jatuh pada tanggal 4 Oktober lalu yang mencanangkan tema “Better City, Better Life” bukan hanya sebagai peringatan semata, tetapi menjadi titik tolak Kota Makassar menjadi kota hijau (Green City), kota dunia, metropolitan not metropolutan.

MDGs di depan kita, Sudah Siapkah Indonesia?


Millenium Development Goals adalah tujuan pencapaian milenium Negara-negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa berikrar bahwa pada tahun 2015 akan yang memuat delapan indikator untuk mengatasi :

1.  Memberantas kemiskinan dan kelaparan.
2.  Mewujudkan pendidikan dasar bagi semua.
3.  Mendorong kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan.
4.  Mengurangi tingkat kematian Anak.
5.  Meningkatkan kesehatan Ibu.
6.  Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain.
7.  Menjamin kelestarian lingkungan.
8.  Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Kedelapan indikator tersebut harus bisa dicapai pada tahun 2015 oleh negara-negara anggota PBB yang merupakan hak dasar warga negara. Krisis kepercayaan masyarakat Indonesia kepada pemerintah baik di daerah-daerah dengan berbagai jargon kesejahteraan, ke”gratis”an dan pelbagai jargon lainnya membuat masyarakat menganggap hal tersebut biasa saja dan mustahil dilakukan pemerintah untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Dengan jangka waktu kurang dari empat tahun lagi, sudah barang tentu negara tidak bisa merealisasikan pada tahun 2015 nanti.
Strategi Mencapai MDGs
Program-program pemerintah selama ini dikeluarkan hanya memberikan ikan dan kail saja. Tetapi pemerintah tidak mengajarkan bagaimana cara memancing yang baik. Kalaupun sudah mengetahui cara memancing yang baik, kolamnya masih tetap dikuasai oleh orang lain. Jadi untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, “kolam” juga hrus disediakan pemerintah. Ada beberapa strategi yang jitu untuk mencapai MDGs tersebut salah satunya menjadikan perusahaan-perusahaan nasional, multinasional bahkan transnasional yang menancapkan investasinya di negara 17 ribu pulau ini. Apalagi kalau bukan dengan istilah yang kita kenal atau hanya sebagian saja yang mengetahui yaitu tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih keren kita menyebutnya Corporate Social Responsibility (CSR). Konsep ini sebenarnya dianggap ampuh dalam bermitra dengan pemerintah dalam merealisasikan MDGs tahun 2015 ini. Konsep lama yang kini disanjung keberadaannya di dunia. Bisa dibayangkan ada beberapa perusahaan yang memiliki income per tahun mengalahkan Gross National Product (GDP) sebuah negara berkembang. Misalnya pendapatan perusahaan Microsoft tahun 2009 mencapai 14.569 milyar dolar.  AT & T Pengguna Iphone or BB Bold perusahaan yang bergerak di bidang teknologi pendapatannya $12,87 Billion. Perusahaan  bergerak di bidang kesehatan sampo, sabun, salep Pendapatannya pun mencapai $12,94 Billion. WAL-MART terkenal sebagai toko penyedia kebutuhan kita $13,40 billion. General electric bergerak di bidang perlistrikan pendapatannya sebesar $17,41 Billion. Chevron co. perusahaan ini bergerak di bidang perminyakan pendapatannya mencapai $23,93 Billion. Exxon mobil adalah Perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan pendapatannya sebesar $45,22 Billion.
CSR di Indonesia
Nama perusahaan terakhir yaitu Exxon Mobil ini mempunyai anak perusahaan di Indonesia. Perusahaan setiap hari mengeksplorasi minyak di perut bumi ibu pertiwi. Tapi masih kurang dalam rangka memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Walaupun bukan kewajiban sebuah perusahaan menyejahterakan rakyat, tetapi bagian yang penting dalam mendukung pemerintah dalam mencapai negara kesejahteraan (welfare state).
Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa konsep CSR sendiri merupakan sebuah konsep dimana sifatnya before profit artinya perusahaan harus menganggarkan dan menjadikan CSR tersebut sebagai bagian yang terintegrasikan dalam kegiatan perusahaan. Bukan kegiatan yang sifatnya after profit yang selama ini dilakukan oleh perusahaan plat merah alias BUMN yang terkenal dengan PKBL-nya (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, red) yang sifatnya adalah menyisihkan 2% dari laba atau after profit.
Di negara-negara maju seperti Inggris tidak mempunyai peraturan yang mengikat sehingga melahirkan sebuah keharusan bagi perusahaan untuk melaksanaan CSR. Namun mereka cukup melaporkan laporan keuangan dan kegiatan yang terkait dengan CSR kepada publik. Sudah bisa ditebak jika tidak dilaksanakan akan timbul ketidakpercayaan masyaarakat terhadap perusahaan tersebut. Di Indonesia sendiri, belum muncul peraturan turunan dari undang-undang tersebut sehingga semua perusahaan di Indonesia merasa bingung dengan kewajiban CSR itu sendiri.

Pemerintah dan CSR adalah solusi pencapaian MDGs
Hal yang sulit dilakukan adalah jika masing-masing menyadari baik pemerintah maupun perusahaan “pos-pos” nya demi kesejahteraan rakyat. Pemerintah sebagai pihak “menguasai” (Pasal 33 ayat 3) tidak boleh semena-mena melemparkan tanggung jawab kepada perusahaan. Ini biasa terjadi di daerah-daerah yang memberikan tanggung jawab kepada perusahaan dalam pembangunan infrastruktur daerah padahal sudah ada anggaran tersedia untuk infrastruktur tersebut. Otomatis anggaran tersebut lenyap dimakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Ini salah satu bentuk moral hazard yang terjadi di daerah. (Jalal Majalah dan Bisnis CSR : 2009).
Sebuah desa di Kabupaten Subang misalnya penulis pernah mendapati di salah satu RT seorang nenek tua yang ditinggal anaknya bertahun-tahun. Beliau yang tinggal di gubuk tua dengan dinding tembikar ini makan ala kadarnya. Beliau hanya mengumpulkan sisa-sisa padi yang di panen di sawah. Kalaupun bukan musim panen, nenek tersebut hanya berharap belas kasihan dari tetangganya sendiri. (hasil observasi dan wawancara di lapangan penulis tahun 2010).  Kurang dari empat tahun mulai Maret 2011 MDGs telah tiba, masyarakat awam yang tidak tahu apa-apa akan termasuk nenek tersebut tidak ada bedanya dengan kondisi mereka di tahun 2015 nanti bahkan mungkin lebih menyedihkan. Bukan sebuah anggapan pesimis, tetapi jika tidak dijalankan akan terbukti. Padahal tidak jauh dari tempat tersebut terdapat sebuah pipa gas milik perusahaan pemerintah. Mereka menggali sumber daya alam masyarakat namum tidak membangun sumber daya manusia masyarakat sekitar.
Pemerintah cukup memberikan perwakilan dalam penyusunan program CSR sebuah perusahaan disuatu daerah dimana perusahaan tersebut beraktivitas. Mengambil perwakilan dari masyarakat (key people), masyarakat yang dianggap qualified memberikan kontribusi dan mewakili masyarakat lainnya. Program tersebut bisa bersifat bottom up maupun top down dalam arti perusahaan hanya melempar sebuah isu program pemberdayaan masyarakat kemudian mulai dari tahap persiapan sosial (memuat tentang need assessement masyarakat), perencanaan, implementasi program, monitoring dan evaluasi (keseluruhan maupun tiap tahapan). Setiap tahapan tersebut terlibat semua wakil dari pemerintah, perusahaan dan masyarakat lokal. Program aksi CSR dapat berupa pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, kesehatan dan modal sosial (Edi Suharto dalam CSR dan Comdev : 2010) yang mencakup delapan indikator pencapaian MDGs. So? Jadi apalagi yang menjadi batu besar penghalang pemerintah dan sebuah perusahaan untuk merealisasi pencapaian MDGs tahun 2015 ? bukankah sebuah pepatah berkata if there is a will, there is a way ! INDONESIA JAYA!