Total Tayangan Halaman

Kamis, 24 Maret 2011

MAKASSAR ANTARA KOTA METROPOLITAN DAN METROPOLUTAN

Perkembangan kota Makassar selama satu dasawarsa ini sangat pesat. Mulai dari sarana dan prasarana serta pelayanan kepada masyarakat yang serba cepat dimana perkembangan ini diharapkan menjadi Kota Metropolitan. Pusat perbelanjaan hampir tersebar di semua tempat semakin meyakinkan kota yang dijuluki “Kota Daeng” , “Kota Seribu Warkop” atau “Kota Seribu Ruko” serta pelbagai julukan lainnya tergantung dari mana orang-orang memandangnya. Makassar sebagai kota Metropolitan dan Gerbang Kawasan Timur Indonesia sehingga dinilai menjanjikan lapangan pekerjaan oleh beberapa warganya maupun daerah sekitarnya. Seiring dengan perkembangan tersebut, masyarakat pun “terpaksa” mau tidak mau mengikuti arus tersebut sehingga mereka mempunyai daya beli terhadap barang dan jasa semakin tinggi. Dan akhirnya, perkembangan tersebut bukan hanya menarik perhatian para pencari nafkah, tetapi terfokus kepada investor asing. Banyak kawasan yang sudah di garap dengan jargon, “.... yang pertama di dunia dan satu-satunya..” atau “..langsung di datangkan dari Amerika, kedua setelah Ibukota Jakarta...” serta pelbagai jargon menarik lainnya. Sungguh Makassarku, Makassarta’ sudah disulap menjadi Kota Dunia.
Kini Makassar tidak dapat lagi kita lihat seperti sepuluh tahun yang lalu, sepeda berjalan dengan langgengnya di jalan raya, tidak ada kemacetan dan polusi dari kendaraan bermotor. Kini kendaraan roda dua, empat serta alat transportasi lainnya semakin menghiasi kota ini. Mudahnya masyarakat mendapatkan kendaraan bermotor dengan uang muka lima ratus ribu semakin menambah “Pekerjaan Rumah” bagi Pemerintah Kota mengatasi permasalahan kemacetan. Sederet kendaraan seperti roda dua, empat, bus, becak, taksi, pete-pete (angkot), dan bentor yang belum jelas legalitasnya sampai sekarang hingga yang terakhir adalah busway yang digadang-gadang pada tahun 2012 dan akan diuji coba tahun 2011 mendatang. Jika dikalkulasikan ada delapan jenis kendaraan yang lalu lalang di kota Daeng ini. Saya masih kurang sepakat dengan kebijakan Pemerintah Kota Makassar yang ingin menggunakan alat transportasi massal busway dan boleh saya katakan belum siap. Walaupun pembangunan “fly over” telah selesai namun bukannya memberikan jalan pintas menuju ke suatu tempat melainkan bertemu lagi di pangkal jalan. Sungguh ironis, jalan seharga miliaran rupiah yang pembangunnya saja memacetkan pengguna jalan sekitarnya ketika sudah selesai masih belum optimal pemanfaatannya. Salah siapakah? Dan siapa pihak yang bertanggung jawab terhadap seringnya kendaraan berjalan “kura-kura” pengguna jalan? Jumlah Kendaraan ? Demonstrasi mahasiswa? Atau seringnya pengalihan jalan?
Selain perbandingan ruas jalan dengan jumlah kendaraan yang tidak sebanding, belum adanya sikap yang tegas terhadap legalitas kendaraan baru seperti bentor dan kebijakan penggunaan alat transportasi lambat melintas di ruas jalan transportasi cepat. Saya teringat perkataan mantan Wapres Jusuf Kalla beberapa tahun lalu dengan nada menyindir “..Negara kita sebenarnya kaya, liat saja Jakarta sangat macet. Macet diakibatkan selain belum seimbangnya kendaraan dengan ruas jalan juga banyaknya kendaraan. Itu berarti masyarakat kita mampu membeli kendaraan, walaupun kredit”. Pernyataan tersebut berimplikasi bahwa kemacetan bukan lagi karena ruas jalan yang sempit ataupun sedikit tetapi memang jumlah kendaraan bermotor sangat banyak. Saat ini di Makassar tidak dapat kita temukan jalan alternatif jika terjadi kemacetan atau pengalihan jalan seperti yang terdapat di Jogja, ada jalan alternatif walaupun hanya untuk kendaraan sepeda. Inilah salah satu bentuk perhatian pemerintah setempat terhadap pengguna sepeda, bisa dibayangkan jika sepeda juga masuk ke jalan raya jika terjadi kemacetan malah memperparah. Jumlah penduduk Kota Makassar tahun 2010 berjumlah 1.339.374 jiwa atau 16.7% total penduduk Sulawesi Selatan yang mencapai sekitar 8.032.551 jiwa dengan luas wilayah 175.77 km2. Kepadatan penduduk masih terus bertambah seiring dengan derasnya arus urbanisasi. Pembangunan jalan yang dilakukan bukan berarti mengurangi kemacetan (BKM, 20 September 2010).
Volume kendaraan yang cukup tinggi serta penggunaan BBM yang kurang ramah lingkungan (bertimbal) mengakibatkan juga tingginya polutan dari mesin kendaraan yang sudah tidak laik jalan sehingga sistem pembakaran kendaraan tersebut tidak sempurna maka hasil pembakarannya pun tidak sempurna. Untuk mencegah polutan yang bisa masuk ke dalam tubuh manusia, pemerintah tidak hanya melaksanakan penanaman pohon di pinggir jalan tetapi juga perlu digalakkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30% untuk setiap wilayah perkotaan misalnya daerah sekitar Universitas Hasanuddin serta tindakan tegas bagi para pengembang maupun pihak yang membangun dengan menebang pohon sekitar. Pembangunan fisik dan perkembangan gaya hidup merupakan karakteristik dari kota Metropolitan namun bukan berarti mengabaikan dampak negatif yang diakibatkannya sehingga tidak menjadi kota Metropolutan. Saat ini Kota Makassar mempunyai luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 10 persen mengungguli tiga kota besar lainnya Medan 8 persen Bandung 9 persen, dan Ibukota Jakarta 9.6 persen hal di atas menunjukkan minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota-kota besar apalagi jika dibandingkan dengan ketentuan yang digariskan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang mengarahkan agar setiap kota mempunyai total RTH minimal seluas 30 persen dari luas wilayah kotanya (Republika, 6 Oktober 2010). Hal ini pula sudah tertuang dalam Millenium Development Goal’s (MDGs) yang dicanangkan  pada tahun 1990 dalam jangka waktu 15 tahun kedepan.
Segenap gerakan maupun program yang dicanangkan seperti program milik Gubernur Sulawesi Selatan “SulSel Go Green” dan milik Walikota Makassar “Makassar Green and Clean”. Semua program tersebut sangat baik bagi perkembangan sebuah kota metropolitan namun harus juga disisipkan peraturan daerah (Perda) yang memuat sanksi bagi penebang pohon di kota atau perusahaan yang tidak memberikan sedikit ruang terbuka hijau (RTH) di lingkungannya. Kita bisa mengambil contoh kota yang mengembangkan infrastruktur hijau seperti Curitiba (Brazil), Hammarby Sjostad (Swedia), dan Singapura yang mengembangkan infrastruktur hijau yang mencakup penataan kawasan pemukiman, bangunan gedung, pengelolaan air limbah, pengelolaan air minum dan pengendalian pencemaran udara. (Republika, 6 Oktober 2010). Sehingga Hari Habitat Dunia yang jatuh pada tanggal 4 Oktober lalu yang mencanangkan tema “Better City, Better Life” bukan hanya sebagai peringatan semata, tetapi menjadi titik tolak Kota Makassar menjadi kota hijau (Green City), kota dunia, metropolitan not metropolutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar