Total Tayangan Halaman

Kamis, 24 Maret 2011

MDGs di depan kita, Sudah Siapkah Indonesia?


Millenium Development Goals adalah tujuan pencapaian milenium Negara-negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa berikrar bahwa pada tahun 2015 akan yang memuat delapan indikator untuk mengatasi :

1.  Memberantas kemiskinan dan kelaparan.
2.  Mewujudkan pendidikan dasar bagi semua.
3.  Mendorong kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan.
4.  Mengurangi tingkat kematian Anak.
5.  Meningkatkan kesehatan Ibu.
6.  Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain.
7.  Menjamin kelestarian lingkungan.
8.  Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Kedelapan indikator tersebut harus bisa dicapai pada tahun 2015 oleh negara-negara anggota PBB yang merupakan hak dasar warga negara. Krisis kepercayaan masyarakat Indonesia kepada pemerintah baik di daerah-daerah dengan berbagai jargon kesejahteraan, ke”gratis”an dan pelbagai jargon lainnya membuat masyarakat menganggap hal tersebut biasa saja dan mustahil dilakukan pemerintah untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Dengan jangka waktu kurang dari empat tahun lagi, sudah barang tentu negara tidak bisa merealisasikan pada tahun 2015 nanti.
Strategi Mencapai MDGs
Program-program pemerintah selama ini dikeluarkan hanya memberikan ikan dan kail saja. Tetapi pemerintah tidak mengajarkan bagaimana cara memancing yang baik. Kalaupun sudah mengetahui cara memancing yang baik, kolamnya masih tetap dikuasai oleh orang lain. Jadi untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, “kolam” juga hrus disediakan pemerintah. Ada beberapa strategi yang jitu untuk mencapai MDGs tersebut salah satunya menjadikan perusahaan-perusahaan nasional, multinasional bahkan transnasional yang menancapkan investasinya di negara 17 ribu pulau ini. Apalagi kalau bukan dengan istilah yang kita kenal atau hanya sebagian saja yang mengetahui yaitu tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih keren kita menyebutnya Corporate Social Responsibility (CSR). Konsep ini sebenarnya dianggap ampuh dalam bermitra dengan pemerintah dalam merealisasikan MDGs tahun 2015 ini. Konsep lama yang kini disanjung keberadaannya di dunia. Bisa dibayangkan ada beberapa perusahaan yang memiliki income per tahun mengalahkan Gross National Product (GDP) sebuah negara berkembang. Misalnya pendapatan perusahaan Microsoft tahun 2009 mencapai 14.569 milyar dolar.  AT & T Pengguna Iphone or BB Bold perusahaan yang bergerak di bidang teknologi pendapatannya $12,87 Billion. Perusahaan  bergerak di bidang kesehatan sampo, sabun, salep Pendapatannya pun mencapai $12,94 Billion. WAL-MART terkenal sebagai toko penyedia kebutuhan kita $13,40 billion. General electric bergerak di bidang perlistrikan pendapatannya sebesar $17,41 Billion. Chevron co. perusahaan ini bergerak di bidang perminyakan pendapatannya mencapai $23,93 Billion. Exxon mobil adalah Perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan pendapatannya sebesar $45,22 Billion.
CSR di Indonesia
Nama perusahaan terakhir yaitu Exxon Mobil ini mempunyai anak perusahaan di Indonesia. Perusahaan setiap hari mengeksplorasi minyak di perut bumi ibu pertiwi. Tapi masih kurang dalam rangka memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Walaupun bukan kewajiban sebuah perusahaan menyejahterakan rakyat, tetapi bagian yang penting dalam mendukung pemerintah dalam mencapai negara kesejahteraan (welfare state).
Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa konsep CSR sendiri merupakan sebuah konsep dimana sifatnya before profit artinya perusahaan harus menganggarkan dan menjadikan CSR tersebut sebagai bagian yang terintegrasikan dalam kegiatan perusahaan. Bukan kegiatan yang sifatnya after profit yang selama ini dilakukan oleh perusahaan plat merah alias BUMN yang terkenal dengan PKBL-nya (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, red) yang sifatnya adalah menyisihkan 2% dari laba atau after profit.
Di negara-negara maju seperti Inggris tidak mempunyai peraturan yang mengikat sehingga melahirkan sebuah keharusan bagi perusahaan untuk melaksanaan CSR. Namun mereka cukup melaporkan laporan keuangan dan kegiatan yang terkait dengan CSR kepada publik. Sudah bisa ditebak jika tidak dilaksanakan akan timbul ketidakpercayaan masyaarakat terhadap perusahaan tersebut. Di Indonesia sendiri, belum muncul peraturan turunan dari undang-undang tersebut sehingga semua perusahaan di Indonesia merasa bingung dengan kewajiban CSR itu sendiri.

Pemerintah dan CSR adalah solusi pencapaian MDGs
Hal yang sulit dilakukan adalah jika masing-masing menyadari baik pemerintah maupun perusahaan “pos-pos” nya demi kesejahteraan rakyat. Pemerintah sebagai pihak “menguasai” (Pasal 33 ayat 3) tidak boleh semena-mena melemparkan tanggung jawab kepada perusahaan. Ini biasa terjadi di daerah-daerah yang memberikan tanggung jawab kepada perusahaan dalam pembangunan infrastruktur daerah padahal sudah ada anggaran tersedia untuk infrastruktur tersebut. Otomatis anggaran tersebut lenyap dimakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Ini salah satu bentuk moral hazard yang terjadi di daerah. (Jalal Majalah dan Bisnis CSR : 2009).
Sebuah desa di Kabupaten Subang misalnya penulis pernah mendapati di salah satu RT seorang nenek tua yang ditinggal anaknya bertahun-tahun. Beliau yang tinggal di gubuk tua dengan dinding tembikar ini makan ala kadarnya. Beliau hanya mengumpulkan sisa-sisa padi yang di panen di sawah. Kalaupun bukan musim panen, nenek tersebut hanya berharap belas kasihan dari tetangganya sendiri. (hasil observasi dan wawancara di lapangan penulis tahun 2010).  Kurang dari empat tahun mulai Maret 2011 MDGs telah tiba, masyarakat awam yang tidak tahu apa-apa akan termasuk nenek tersebut tidak ada bedanya dengan kondisi mereka di tahun 2015 nanti bahkan mungkin lebih menyedihkan. Bukan sebuah anggapan pesimis, tetapi jika tidak dijalankan akan terbukti. Padahal tidak jauh dari tempat tersebut terdapat sebuah pipa gas milik perusahaan pemerintah. Mereka menggali sumber daya alam masyarakat namum tidak membangun sumber daya manusia masyarakat sekitar.
Pemerintah cukup memberikan perwakilan dalam penyusunan program CSR sebuah perusahaan disuatu daerah dimana perusahaan tersebut beraktivitas. Mengambil perwakilan dari masyarakat (key people), masyarakat yang dianggap qualified memberikan kontribusi dan mewakili masyarakat lainnya. Program tersebut bisa bersifat bottom up maupun top down dalam arti perusahaan hanya melempar sebuah isu program pemberdayaan masyarakat kemudian mulai dari tahap persiapan sosial (memuat tentang need assessement masyarakat), perencanaan, implementasi program, monitoring dan evaluasi (keseluruhan maupun tiap tahapan). Setiap tahapan tersebut terlibat semua wakil dari pemerintah, perusahaan dan masyarakat lokal. Program aksi CSR dapat berupa pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, kesehatan dan modal sosial (Edi Suharto dalam CSR dan Comdev : 2010) yang mencakup delapan indikator pencapaian MDGs. So? Jadi apalagi yang menjadi batu besar penghalang pemerintah dan sebuah perusahaan untuk merealisasi pencapaian MDGs tahun 2015 ? bukankah sebuah pepatah berkata if there is a will, there is a way ! INDONESIA JAYA!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar